Hilangkan Stigma Negatif Skizofrenia Dengan Membangun Griya Schizofren

Dua puluh tahun lalu saya bersama dua orang teman menonton film A Beautiful Mind yang diperankan Russel Crowe, Jennifer Connely, Ed Harris. Film yang bercerita tentang ilmuwan matematika John Nash yang mendapatkan nobel Prize tahun 1994 namun harus berjuang melawan skizofrenia. 


a beautiful mind
                                       sumber : cultura.id

Saat itu saya belum paham mengenai penyakit skizofrenia dan informasi tentang penyakit ini juga masih sedikit. Berkat film A Beautiful Mind akhirnya orang perlahan tahu tentang penyakit ini meskipun dianggap aneh karena memiliki  ilusi atau imajinasi sendiri yang tidak dipahami orang lain. 

Industri perfilman Hollywood pun mulai mengangkat kisah penyakit mental ke dalam layar lebar supaya semakin banyak orang sadar betapa pentingnya masalah ini. 

Film "A Beautiful Mind” berhasil menciptakan kesadaran global tentang penyakit mental skizofrenia, yang sebelumnya masih dianggap remeh dan penderitanya seringkali dicap sebagai ‘orang gila’ oleh masyarakat sekitar. Film ini secara efektif menggarisbawahi berbagai isu tentang skizofrenia, termasuk apa yang terjadi dalam pikiran penderita.

Melalui kehidupan John Nash berhasil menginformasikan kepada penonton bahwa dalam kondisi mental seperti apapun, para penderitanya masih dapat berjuang mengatasinya bahkan berprestasi mendapatkan hadiah nobel.

Lalu bagaimana dengan pengidap skizofrenia di Indonesia?

Menurut dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, untuk mengukur banyaknya penduduk yang mengalami skizofrenia melalui prevalensi. Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi skizofrenia di Indonesia sebanyak 6,7 per 1.000 rumah tangga.

Di Indonesia, kerap kali masyarakat dan anggota keluarga memberi stigma buruk terhadap penderita skizofrenia karena kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental. Menurut International Journal of Mental Health Systems, pasien dengan gangguan kejiwaan sering didiskriminasi. Dalam studi tersebut, masyarakat sering beranggapan bahwa pasien dengan gangguan jiwa adalah orang yang berbahaya.

Diskriminasi terhadap penderita dapat berupa perkataan atau label, seperti “orang gila”, “orang sakit jiwa”, dan dapat juga berupa perilaku seperti diperlakukan dengan tidak adil, ditelantarkan, dikucilkan, diikat, hingga dipukul. Tindakan yang dilakukan di beberapa rumah tangga dengan pasien skizofrenia sebanyak 31 persen berupa pasung dan tidak ditangani dengan tenaga kesehatan profesional menurut Riskesdas tahun 2018.

Hal inilah yang mendorong mahasiswi Sosiologi Universitas Sebelas Maret di Solo Triana Rahmawati mendirikan griya schizofren dengan tujuan menemani para pengidap skizofrenia dan memberikan hiburan di tahun 2012. Saat ia mendirikan griya schizofren tidak ada informasi tentang kesehatan mental. 

griya schizofren
                         sumber : Instagram @griya.schizofren


Griya Schizofren pada awalnya bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk melaksanakan berbagai kegiatannya. Mereka menemani para OMDK mengobrol, bernyanyi, menggambar, melakukan kegiatan ibadah, bahkan tidak jarang mereka menjadi jembatan komunikasi antara para penderita dengan keluarganya. Hal ini mereka lakukan guna mencapai tujuan mereka dalam menyadarkan masyarakat untuk tidak mengucilkan para OMDK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan).

Ia pun melihat kesadaran orang akan masalah kejiwaan harus diedukasi dari lingkungan rumah. Triana lalu melibatkan psikolog, dokter kesehatan jiwa dan beberapa volunteer agar pasien yang sendiri tanpa keluarga bisa berinteraksi sosial dengan baik. 
    
Griya schizofren
sumber : satu-indonesia.com


Perjuangan yang tidak mudah hampir membuat Triana menyerah karena banyak kendala yang ditemui. Saat hampir menyerah dan berhenti, Triana malah mendapat kabar baik yaitu terpilih sebagai salah satu pemenang Satu Indonesia Awards tahun 2017  bidang kesehatan. 

Setelah mendapatkan apresiasi dari PT Astra, Triana makin semangat untuk berkarya sebagai tantangan di diri sendiri untuk terus belajar dan tidak berhenti. Yang membuat Triana semakin semangat ialah angka pengidap gangguan jiwa semakin meningkat, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang didirikan dan masih ada 130 orang yang sedang b4erjuang mengatasi skizofrenia.


Harapan di masa depan Triana ingin membuat modul pendampingan masalah kejiwaan bagi anggota keluarga dan semakin banyak orang yang terlibat dalam griya skizofren sehingga stigma negatif bisa dikurangi dan menghilang dalam masyarakat.


Dari Triana saya belajar bahwa isu sosial akan selalu ada dan bisa menjadi peluang untuk berkontribusi dalam masyarakat dan harus percaya diri mengikuti kompetisi karena melalui ajang seperti inilah ide-ide bisa didengar bahkan diapresiasi oleh para praktisi. Harus selalu optimis walaupun banyak kendala karena akan ada jalan keluar yang memudahkan dan meringankan masalah yang dihadapi.








Comments

Popular posts from this blog

Lima Hal Yang Harus Dimiliki Pekerja Digital Masa Kini

ulasan film sokola rimba

PopBox Loker Multifungsi Untuk Berbagai Kebutuhan