Sambut Hari Sumpah Pemuda, Astra Berikan Penghargaan SATU Indonesia Awards Pada Anak Muda Inspiratif

Sebagai negara dengan penduduk dua ratus juta lebih menjadikan Indonesia negara yang besar karena memiliki kekuatan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah. Namun masih banyak tantangan yang harus diperbaiki karena belum meratanya pendidikan dan hasil pembangunan sehingga kesenjangan ekonomi masih banyak ditemui.


Walaupun pemerintah sudah melakukan beberapa upaya melalui pembangunan infrastruktur dan pemerataan pendidikan peran masyarakat tetap dibutuhkan karena keterbatasan aparat pemerintah. Beberapa masyarakat pun berinistiatif mengadakan perubahan dengan melakukan terobosan yang dilakukan dengan pengetahuan dan dana pribadi.



Sebagian perubahan pun dilakukan generasi muda karena prihatin melihat kondisi masyarakat yang masih memprihatinkan. Dengan semangat muda ingin mengadakan perubahan, beberapa anak muda melakukan edukasi, sosialisasi, dan kontribusi melibatkan masyarakat sekitar. Melihat semangat ini, ASTRA pun mengadakan kompetisi SATU Indonesia Awards yang sudah dilakukan sejak tahun 2010.



Awalnya kategori yang dinilai hanya empat yaitu Kesehatan,Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan sesuai empat bidang kontribusi sosial yang telah dilakukan ASTRA. Namun kini ada penambahan kategori yaitu teknologi dan kelompok. 



Dalam proses pencarian, ASTRA didukung dewan juri yang kompeten antara lain bapak Emil Salim sebagai Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Menteri Kesehatan ibu Nila F Moelek, Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Prof Fasli Jalal, Pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan Tri Mumpuni dan Pakar Teknologi Informasi Onno W Purbo.

Pada penyerahan SATU Indonesia Awards tanggal 18 Oktober 2017, bapak Emil Salim mengatakan tahun ini ada peningkatan jumlah peserta yang tersebar di berbagai wilayah dan yang membuat beliau kagum ialah kesadaran anak muda melakukan perubahan tanpa sadar akan mendapat menghargaan. Meskipun penerima penghargaan ini tidak mendapatkan pendapatan namun tetap konsisten melakukan perubahan. 

Tahun ini dari 82 anak muda dari 30 provinsi yang telah diseleksi, telah terpilih tujuh "mutiara bangsa yang dinilai telah menyebarkan inspirasi bagi sekitarnya. Ketujuh pemenang tersebut adalah :

a. Ronaldus Asto Dadut
Berawal dari permintaan dosennya pada tahun 2012 untuk menjemput buruh migran asal NTT yang dipulangkan dari Malaysia dan mengalami kekerasan fisik bahkan depresi. Ia pun merasa prihatin melihat nasib perempuan dan anak-anak kemudian mendirikan Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan (J-RUK) Sumba dengan gerakan Stop Bajual Orang.

Sosialisasi yang dilakukan ialah edukasi yang benar ketika menjadi buruh migran, penanganan yang tepat untuk anak yang ditinggal orang tuannya bekerja, penanganan psikologis untuk mantan buruh dan melatih masyarakat agar kreatif mencari nafkah. 

Kini relawan yang tergabung mencapai 50 orang yang tersebar di berbagai lokasi. Asto berharap, anak muda ikut berpartisipasi menjadi agen pencerdas bagi kaum mama dan anak-anak. Selain itu ia ingin melatih kewirausahaan melalui produksi tenun ikat sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat.

b. Triana Rahmawati 
Walaupun masih berstatus mahasiswi jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, ia dan teman-temannya memiliki kepedulian dengan orang masalah kejiwaan. Wujud kepedulian itu dengan mendirikan Griya Schizopren dengan filosofi Social, Humanity and Friendly pada tahun 2013. 

Bekerja sama dengan Dinas Sosial Solo Griya Schizopren merawat 150 orang dengan masalah kejiwaan. Kegiatan yang dilakukan ialah bernyanyi, menggambar, solat berjamaah, dan buka puasa berjamaah. 

Rumah singgah Griya Schizopren diharapkan menjadi laboratorium riset ilmu psikologi, sosiologi maupun kedokteran klinis. Dengan menjadi laboratorium riset diharapkan dapat memberikan saran atau tinjauan kepada penanganan orang dengan masalah kejiwaan.

c. Jamaludin
Pria yang pernah putus sekolah namun berhasil lulus S2 Universitas Muslim Indonesia dengan jurusan manajemen merasakan pentingnya pendidikan dalam kehidupan. Sayangnya penduduk di desanya Desa Kanrepia Gowa Sulawesi Selatan walaupun dengan ekonomi yang cukup tidak memperdulikan pendidikan.

Banyak ditemui anak SD yang putus sekolah yang memilih bekerja dan orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda. Sebagai alumnus pendidikan bahasa Indonesia, ia menyadari pentingnya literasi pada anak-anak maupun dewasa. Pada tahun 2011 Jamaludin melakukan sosialisasi pada petani agar rajin membaca dan berorganisasi.

Sehingga pada tahun 2016 terwujudlah Rumah Koran sebagai tempat petani membaca dan gerakan untuk mencerdaskan anak petani. Hasilnya angka buta huruf berkurang dan anak-anak tertarik melanjutkan sekolah dan kuliah. Peserta tidak hanya anak-anak tapi juga petani muda dan petani tua. Harapan di masa mendatang, Jamaludin ingin mengundang tokoh-tokoh inspiratif yangbisa memotivasi peserta didik.


d. Ritno Kurniawan
Seusai melepas studi dari Universitas Gajah Mada tahun 2012, Ritno sedih melihat kampung halamannya di Bukit Barisan sekitar Padang Pariaman terancam pembalakan liar oleh masyarakat. Ia melihat setiap hari sekitar 10-15 batang kayu dihanyutkan dan ia khawatir pohon yang rimbun akan menjadi tanah yang gersang.

Ia pun memiliki ide menjual ekowisata di dusun Gamaran Lubuk Alung Padang Pariaman. Awalnya ia sempat dicurigai dan diusir karena dikira intel kepolisian yang memata-matai kegiatan penebangan liar. Perlahan-lahan Ritno mendekati tokoh adat masyarakat untuk membuka jalur tracking ke Air Terjun Nyarai.

Wisatawan mulai mendatangi Air Terjun Nyarai mencapai 25-30 orang dalam satu bulan. Awalnya ia memandu sendiri bergantian dengan tim pembuka jalur, kemudia masyarakat pun melihat profesi baru yang bisa mendatangkan uang bahkan lebih besar dari menebang pohon. Masyarakat mulai beralih profesi dari pembalak liar menjadi pemandu wisata. Kini sudah ada 170 pemandu yang terlibat bahkan sebagian mendapat sertifikasi internasional. Ritno bersama timnya yakin selama mereka bisa menjaga lingkungan Ekowisata Air Terjun Nyarai akan tetap ada.

e. Anjani Sekar Arum
Perempuan lulusan Universitas Negeri Malang jurusan seni dan desain memiliki kegelisahan belum adanya batik khas kota Batu Malang. Ia pun memiliki ide mendirikan sanggar batik Andaka tahun 2014 dengan membuat motif yang membawa unsur bantengan khas Batu. Beberapa bulan kemudian, ia dihubungi wali kota Batu untuk pameran di Ceko Praha.

Setahun kemudian, ia bertemu Aliya anak berusia 9 tahun yang ingin belajar membatik. Ternyata anak-anak lainnya juga tertarik belajar sehingga ia mulai rutin mengajar membatik sepulang sekolah. Batik karya anak-anak dijual di Galeri Andaka dan 90 % dari penjualan akan diberikan ke anak-anak. Kini ada 58 anak yang aktif membatik di luar jam sekolah dan mampu menghasilkan 45 lembar batik sebulan.

Dari pendapatan yang diterima, diharapkan anak-anak asuhan sanggar Andaka bisa melanjutkan pendidikan hingga ke universitas. Selain itu ia ingin motif bantengan kelak bisa dipatenkan dan melestarikan batik sehingga menjadi profesi yang menghasilkan.

f. Bambang Sardi
Tinggal di Palu Sulawesi Tengah yang merupakan salah satu penghasil kelapa terbesar di Indonesia, Bambang melihat belum banyak masyarakat mengolah kelapa menjadi VCO. Bila ada kebanyakan membuat VCO dengan metode konvensional dengan cara pemanasan santan kelapa dan menambahkan cuka,

Ia pun tergerak melakukan inovasi membuat VCO dengan metode fermentasi anaerob dan menghilangkan proses pemanasan santannya serta tidak menggunakan bakteri atau bahan kimia. Bakteri dengan sendirinya tumbuh di bahan baku santan. Hasilnya produk yang dihasilkan lebih kaya protein terutama asam laurat lebih dari 50 %. Asam laurat dapat berfungsi sebagai anti virus, anti jamur dan anti bakteri.

Kini produk VCO hasil inovasi Bambang sudah dijual di rumah sakit dan apotek di Palu. Ritno berharap produknya bisa dijual di tempat oleh-oleh dan mendaftarkan metodenya serta merk di HAKI agar mendapatkan hak paten.

g. PPILAR
Kelompok yang terdiri dari tiga orang yaitu Randi Putra Anom, Akri Efrianda, dan Rego Damantara memiliki kepedulian terhadap lingkungan karena prihatin banyak masyarakat yang menangkap ikan sidat dengan menggunakan setrum sejak tahun 2016. Akibatnya banyak ikan mati dalam keadaan masih kecil yang bisa mengancam populasi ikan sidat.

Padahal ikan sidat memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika diekspor. Mereka pun memberikan sosialisasi kepada nelayan untuk menangkap ikan dengan alat yang ramah lingkungan yaitu bubu. Bubu merupakan alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipecah dan menggunakan tali serta tempurung kelapa sebagai penutup belakang.

Setelah menangkap dengan bubu, harga ikan sidat naik menjadi Rp 45.000 dari sebelumnya Rp 20.000. Jika nelayan mampu menangkap ikan seberat 15-25 kg maka pendapatan menjadi sekitar Rp 700.000 - Rp 1.200.000 per minggu. Saat ini program berjalan di kelompok nelayan Desa Rawamakmur dan Desa Arga Makmur, Bengkulu. Program ini sudah mengajak 20 orang nelayan yang menangkap ikan dengan sidat.

Harapan PPILAR semua nelayan di Bengkulu peduli keberlangsungan ikan sidat dengan menangkap ikan menggunakan alat yang ramah lingkungan.



Ketujuh pemenang hadir dan menjelaskan secara singkat program dan harapan mereka dengan suasana santai yang dipandu pembawa acara humoris Cak Lontong. Walaupun saya mendengar kegiatan mereka hanya beberapa menit, namun membuat saya kagum karena semangat dan ketulusan mereka untuk melakukan perubahan.



Di usia yang masih muda mereka berani melakukan perubahan dengan dana dan tenaga yang terbatas. Walaupun tinggal jauh dari kota besar tidak menyurutkan semangat untuk mengajak masyarakat menjadi lebih baik.  Anak muda seperti inilah menurut saya yang harus dipublikasikan di media secara luas supaya menjadi contoh yang baik untuk masyarakat luas.



Yang membuat mereka terpilih bagi dewan juri ialah keaslian ide, tingkat kesulitan, seberapa besar manfaat, seberapa luas bisa diduplikasi dan seberapa lama bisa dijalankan. Untuk mendapatkan peserta di berbagai daerah ASTRA memanfaatkan beberapa sumber daya antara lain bekerja sama dengan media TEMPO yang memiliki kontributor di seluruh Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah daerah, LSM, dan tim ASTRA di beberapa daerah.




Peserta tahun ini mengalami kenaikan 38.15% menjadi 3.234 orang dibandingkan tahun 2016 meskipun dewan juri berharap peserta bisa mencapai 5.000 orang tahun ini. Panitia dan dewan juri mengatakan tidak menutup kemungkinan akan menambah kategori di tahun-tahun mendatang disesuaikan kondisi yang ditemukan di masyarakat.



Saya senang bisa hadir menyaksikan penerima SATU Indonesia Awards karena sudah lama ingin melihat anak muda yang inspiratif dan memberikan kontribusi di masyarakat. Hal ini memotivasi saya agar bisa membawa perubahan dengan keahlian yang saya miliki dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan positif. Selamat untuk pemenang dan tim ASTRA semoga program ini bisa terus dijalankan agar memotivasi anak muda untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.


Comments

Popular posts from this blog

Lima Hal Yang Harus Dimiliki Pekerja Digital Masa Kini

ulasan film sokola rimba

PopBox Loker Multifungsi Untuk Berbagai Kebutuhan